Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Sedekah Dulu atau Bayar Hutang Dulu? Mana yang Harus Didahulukan? Begini Menurut Ajaran Islam

Sedekah Dulu atau Bayar Hutang Dulu?
Sedekah Dulu atau Bayar Hutang Dulu?
JAMPE SUNDA - Banyak anjuran dalam ajaran Islam yang mendorong umatnya untuk melaksanakan sedekah. Salah satu sumber petunjuk utama adalah Al-Qur'an, yang menjelaskan dalam Surat an-Nisa'ayat 92, "Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa pun yang kamu infakkan, tentang hal itu sungguh Allah Maha-Mengetahui.”

Selain itu, ada juga janji ganjaran bagi yang mengajak orang lain untuk bersedekah, sebagaimana disebutkan dalam ayat 114.

Namun, apakah anjuran ini bersifat mutlak, tanpa memandang kondisi individu yang hendak bersedekah?

Apakah seseorang yang masih memiliki utang dianjurkan untuk berinfak, atau justru harus membayar utangnya terlebih dahulu?

Berdasarkan penjelasan dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, sedekah yang paling baik adalah yang dilakukan ketika seseorang telah mencukupi kebutuhan dirinya dan keluarganya.

Rasulullah juga menekankan untuk memulai sedekah kepada mereka yang berhak menerima, seperti orang yang menjadi tanggungannya.

Namun, jika seseorang masih memiliki utang yang belum terbayar, para ulama sepakat bahwa membayar utang adalah prioritas yang lebih tinggi daripada bersedekah.

Imam Bukhari menjelaskan bahwa membayar utang memiliki prioritas yang lebih tinggi daripada bersedekah, memerdekakan budak, atau memberi hibah.

Ini juga diakui oleh Imam Syafi'i, yang menyatakan bahwa bersedekah ketika masih memiliki utang yang wajib dibayar adalah bertentangan dengan anjuran agama.

Syekh Khatib asy-Syirbini menjelaskan:

ـ (ومن عليه دين أو) لم يكن عليه (و) لكن (له من تلزمه نفقته يستحب) له (أن لا يتصدق حتى يؤدي ما عليه) فالتصدق بدونه خلاف المستحب - (قلت الأصح تحريم صدقته بما يحتاج إليه لنفقة من تلزمه نفقته) أو يحتاج إليه لنفقة نفسه ولم يصبر على الإضاقة (أو لدين لا يرجو له وفاء) لو تصدق به

“Seseorang yang memiliki utang atau ia tidak punya utang namun berkewajiban menafkahi orang lain, maka disunnahkan baginya untuk tidak bersedekah sampai ia membayar tanggungan yang wajib baginya. Sebab bersedekah tanpa (disertai) membayar tanggungannya adalah menyalahi kesunnahan.  

Hanya ketika utang dapat terlunasi dari sumber lain, atau utang belum jatuh tempo, bersedekah masih dianjurkan.

Namun, dalam beberapa kasus di mana harta yang akan disedekahkan tidak dapat digunakan untuk membayar utang, beberapa ulama seperti Imam al-Adzra'i berpendapat bahwa bersedekah tetaplah dianjurkan.

Syekh Khatib asy-Syirbini berkata:

وأما تقديم الدين فلأن أداءه واجب فيتقدم على المسنون فإن رجاله وفاء من جهة أخرى ظاهرة فلا بأس بالتصدق به إلا إن حصل بذلك تأخير وقد وجب وفاء الدين على الفور بمطالبة أو غيرها فالوجه وجوب المبادرة إلى إيفائه وتحريم الصدقة بما يتوجه إليه دفعه في دينه كما قاله الأذرعي

“Diwajibkannya mendahulukan membayar utang, sebab membayar utang adalah hal yang wajib, maka harus didahulukan dari perkara yang sunnah. Sedangkan jika utangnya bisa lunas dari harta yang lain, maka tidak masalah bersedekah dengan harta tersebut, kecuali ketika akan berakibat pada diakhirkannya pembayaran, sedangkan wajib baginya untuk membayar utang sesegera mungkin dengan adanya tagihan (dari orang yang memberi utang) atau hal lainnya, maka dalam keadaan demikian wajib baginya untuk segera melunasi utangnya dan haram untuk mensedekahkan harta yang akan digunakan untuk membayar utang. Pendapat ini seperti yang diungkapkan oleh Imam al-Adzra’i,” (Syekh Khatib Asy-Syirbini, Mughni al-Muhtaj, juz 3, hal. 122).  

Contohnya, ketika harta yang akan disedekahkan bersifat remeh dan tidak signifikan dalam membayar utang.

Dalam mengelola keuangan, Islam menekankan keseimbangan antara kewajiban dan sunnah.

Bersedekah adalah amal mulia, tetapi membayar utang dan menafkahi diri sendiri serta keluarga adalah tanggung jawab yang lebih utama.

Oleh karena itu, bijaklah dalam memutuskan kapan dan berapa besar sedekah yang akan diberikan, dengan mempertimbangkan kewajiban-kewajiban yang lebih mendesak.

Dijelaskan dalam kitab Nihayah al-Muhtaj:

قال الأذرعي : وهذا ليس على إطلاقه إذ لا يقول أحد فيما أظن أن من عليه صداق أو غيره إذا تصدق بنحو رغيف مما يقطع بأنه لو بقي لم يدفعه لجهة الدين أنه لا يستحب له التصدق به ، وإنما المراد أن المسارعة لبراءة الذمة ، أولى وأحق من التطوع على الجملة

“Keharaman ini tidaklah bersifat mutlak. Sebab tidak akan mungkin ada ulama’ yang berpandangan bahwa orang yang memiliki tanggungan, ketika ia bersedekah roti atau harta yang serupa, sekiranya ketika harta tersebut tetap maka ia tidak akan menyerahkan harta tersebut untuk pembayaran utangnya (karena terlalu sedikit), (tidak ada ulama yang berpandangan) bahwa menyedekahkan roti tersebut tidak disunnahkan. Karena yang dimaksud (tidak sunnahnya bersedekah ketika mempunyai utang) adalah menyegerakan untuk terbebas dari tanggungan lebih baik daripada melakukan kesunnahan dalam skala umum” (Syekh Syamsuddin ar-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, Juz 6, Hal. 174) 

Dalam akhirnya, ajaran Islam mengajarkan agar umatnya bijak dalam mengelola harta.

Bersedekah adalah bentuk kebaikan, tetapi kewajiban membayar utang dan menafkahi keluarga haruslah menjadi prioritas.

Dengan memahami prinsip-prinsip ini, umat Muslim dapat melaksanakan sedekah dengan bijak dan bertanggung jawab terhadap kewajiban-kewajiban lainnya.****